UPDATEBERITA.ID -KABUPATEN ASMAT,Puluhan pegawai honorer di Kabupaten Asmat, Papua, hingga saat ini belum menerima nota dinas mereka akibat ulah politik yang diduga kuat melibatkan salah satu calon anggota DPRD Provinsi dari partai Merah. Penahanan dokumen tersebut telah menyebabkan ketidakpastian nasib bagi para honorer yang kini terkatung-katung tanpa kejelasan.
Menurut keterangan dari salah satu pegawai honorer yang menjadi korban, MA yang tidak mau disebutkan namanya, mengatakan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Asmat sebenarnya telah mengeluarkan nota dinas untuk pegawai honorer yang seharusnya sudah diserahkan. Namun, prosMA ini tiba-tiba terhenti karena campur tangan politik dari salah seorang anggota DPRD Provinsi yang terpilih dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) baru-baru ini.
“Nota dinas kami sudah dikeluarkan oleh BKD, tapi sampai sekarang belum diberikan. Ada anggota DPRD Provinsi dari partai tertentu yang meminta nota dinas itu ditahan. Dia meminta kami meminta maaf kepadanya,” ujar MA.
Manipulasi Kekuasaan di Balik Penahanan Nota Dinas
Dari pengakuan MA, alasan penundaan ini erat kaitannya dengan keberpihakan politik. Puluhan pegawai honorer diduga tidak mendukung calon tersebut saat kampanye legislatif, dan hal ini membuat mereka kini menjadi korban balas dendam politik. Anggota DPRD tersebut, yang memiliki kekuatan politik, meminta BKD untuk menahan nota dinas hingga ada permintaan maaf dari para pegawai honorer.
“Apa yang harus kami lakukan? Kami sudah pasrah, karena kami tidak punya kekuatan apa-apa. Kami bukan siapa-siapa dan tidak tahu harus melapor ke mana,” tambah MA.
Menurutnya, kekuatan politik sang anggota DPRP semakin sulit dihadapi karena ia adalah orang kepercayaan Bupati dan Wakil Bupati Asmat. Hal ini menempatkan para pegawai honorer dalam posisi lemah, tanpa daya melawan atau mengadukan nasib mereka.
Pegawai Honorer Terjebak dalam Ketidakpastian
Penahanan nota dinas ini membuat para honorer menghadapi ketidakpastian bMAar terkait status pekerjaan mereka. Padahal, nota dinas tersebut merupakan dokumen penting untuk kelanjutan kontrak dan status mereka sebagai pegawai honorer daerah. Tanpa dokumen ini, status mereka tidak jelas, baik secara administratif maupun finansial.
“Kami sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kami tidak bisa melawan kekuatan politik yang begitu bMAar. Orang yang menghalangi ini dekat dengan bupati dan wakil bupati. Ke mana kami harus mengadu?” kata MA dengan nada penuh keputusasaan.
Para pegawai honorer yang berada dalam situasi ini merasa mereka hanya menjadi pion dalam permainan politik lokal. Mereka tak hanya terancam secara ekonomi, tetapi juga kehilangan kepercayaan diri untuk berjuang mendapatkan hak mereka.
Dampak Politik pada Administrasi dan Birokrasi
Kasus ini menunjukkan bagaimana kekuatan politik lokal dapat mengintervensi sistem administrasi yang seharusnya independen. Dalam birokrasi yang ideal, prosMA administratif seperti penyerahan nota dinas seharusnya tidak dihambat oleh kepentingan politik apa pun. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa politik kerap kali menjadi faktor dominan yang menggerakkan roda birokrasi, terutama di daerah-daerah yang masih rentan terhadap intervensi kekuasaan.
MA dan puluhan pegawai honorer lainnya kini menghadapi situasi yang semakin pelik. Mereka tidak hanya harus menunggu kejelasan status pekerjaan mereka, tetapi juga menghadapi tekanan psikologis akibat ketidakpastian tersebut.
“Kalau ini terus berlanjut, kami tidak tahu bagaimana nasib kami ke depannya. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu, dan itu sangat menyakitkan,” tutur MA.
Tuntutan Keadilan bagi Pegawai Honorer
Kasus ini perlu menjadi perhatian serius, baik oleh pemerintah pusat maupun pihak terkait di tingkat provinsi. Pegawai honorer yang sudah menjalankan tugasnya dengan baik, seharusnya tidak dijadikan alat tawar-menawar politik. Ketidakadilan seperti ini hanya akan memperburuk situasi dan menambah beban bagi mereka yang sudah bekerja dalam kondisi terbatas.
Harapan para pegawai honorer ini kini bergantung pada keberanian aparat penegak hukum dan pemerintah daerah untuk mengambil langkah tegas, menghentikan campur tangan politik, dan memastikan hak-hak pegawai honorer dipulihkan. Tanpa itu, kasus ini akan terus menjadi simbol ketidakadilan di Asmat, di mana kepentingan politik pribadi lebih diutamakan daripada pelayanan publik yang adil dan merata.
Sementara itu, para pegawai honorer hanya bisa berharap keadilan dapat segera ditegakkan. Mereka membutuhkan kepastian, bukan sekadar janji, untuk mengakhiri penderitaan yang terus berlanjut ini.
“Semoga ada yang mendengar dan membantu kami,” pungkas MA.***UB-02