UPDATEBERITA.ID–ASMAT, February 2016. Kampung Nakai tampak lengang ketika speedboat 80 PK yang mengantar kami bersandar. Hanya beberapa orang yang menyambut kami di dermaga. “Orang-orang sekarang lebih memilih tinggal di bivak. Jadi kampung begini sudah. Kosong,” ucap Urbanus Wuar (56 tahun), Kepala Kampung Nakai.
Sudah sekitar sepuluh tahun belakangan perubahan sedang berlangsung di Kampung Nakai. Kampung yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Lorentz ini kini sepi penduduk. Sebagian besar penghuninya memilih menetap di bivak atau rumah sementara di dalam hutan. Hal itu mereka lakukan untuk mengumpulkan karaka atau kepiting bakau (Scylla Spp.).
“Tempat cari karaka sudah makin jauh dari kampung. Kalau dulu di dekat kampung sudah bisa dapat,” kata Urbanus. “Itu makanya mereka (para nelayan pencari karaka) memlih tinggal di bivak dekat lokasi mencari. Pulang ke kampung cuma sekali-sekali. Biasa sebulan sekali. Atau kalau Dana Desa cair.”
Masalah sosial kemudian muncul dari perpindahan massal masyarakat Kampung Nakai ke bivak lokasi pencarian kepiting bakau. Kosongnya kampung menyebabkan lumpuhnya hampir seluruh kegiatan sosial di dalam kampung, mulai dari pendidikan, kesehatan, pemerintahan, sampai peribadatan dan ritual adat.
Tidak ada aktivitas berarti di dalam kampung saat kami berkunjung di Kampung Nakai. Semak-semak tinggi mulai menutupi jalan jembatan yang terbuat dari kayu. Beberapa tanaman merambat sudah menjalar ke dinding-dinding rumah. Aktivitas ibadah sudah bertahun-tahun tidak dilaksanakan. Hal ini dikarenakan pendeta yang bertugas juga memilih tinggal di bivak. Keadaan ini semakin diperparah dengan ketidakhadiran aparat pemerintah di kampung. Kampung Nakai sebagai ibu kota pemerintahan distrik hanya sesekali dikunjungi oleh Kepala Distrik. Padahal kantor distrik dan rumah-rumah dinas pegawai sudah dibangun dan masih tampak baru.
“Kepala Distrik biasa datang kalau upacara tujuh belas Agustus saja,” kata Kepala Kampung Nakai. “itu pun tidak sempat bermalam. Habis upacara langsung kembali lagi ke Sawaerma.”
Pelayanan pendidikan dan kesehatan pun sama. Di Kampung Nakai terdapat sebuah Sekolah Dasar (SD), namun tidak ada guru yang aktif mengajar. “Dalam setahun paling banyak cuma tiga kali guru datang untuk mengajar anak-anak sekolah,” lanjut Urbanus. Keadaan ini membuat anak usia sekolah tidak dapat menikmati pendidikan formal. Ini tentu menjadi alasan pendukung bagi para orang tua untuk mengajak anak mereka turut tinggal di bivak.
Pada bidang kesehatan lebih miris lagi. Saat itu tidak ada fasilitas ataupun tenaga medis yang tersedia di Kampung Nakai. Padahal tingkat penyakit malaria, demam berdarah, dan diare cukup tinggi di kampung ini. Sedangkan untuk persalinan ibu hamil hanya dilakukan dengan bantuan sesama masyarakat. Mereka hanya mengandalkan obat-obatan alam jika terjangkit sebuah penyakit. Jika penyakitnya semakin parah barulah dibawa ke Rumah Sakit di Kota Agats. Itupun jika tersedia bahan bakar untuk kapal motor. Jarak antara Kampung Nakai dengan pusat kabupaten di Agats memang cukup jauh. Sekitar empat jam perjalanan dengan perahu motor bermesin 15 PK.
Karaka yang disebut menjadi penyebab kosong nya Kampung Nakai belakangan ini memang sedang menjadi komoditas primadona di wilayah pesisir Papua, terutama daerah yang ditumbuhi mangrove. Rantai pasok nya menjangkau hingga Jakarta bahkan negara luar seperti Singapura dan Cina. Di Asmat, kepiting bakau berkembang biak secara alami di hutan mangrove yang menjadi wilayah kelola masyarakat adat. Hal inilah yang mengundang para pengumpul-pedagang dari berbagai tempat berani untuk menembus beratnya medan di rimba pesisir Asmat.
Oleh masyarakat Kampung Nakai, kami pun diajak ke bivak untuk melihat secara langsung geliat kehidupan para pencari karaka. Bivak-bivak ini terletak di dekat muara Kali Topap, salah satu sungai terbesar di Kabupaten Asmat. Jaraknya memang cukup jauh dari kampung. Bivak terdekat dijangkau sekitar tiga puluh menit perjalanan dengan menggunakan speedboat 80 PK. Waktu tempuh nya pasti akan berlipat lebih lama jika menggunakan perahu bermesin 15 PK yang umum digunakan oleh masyarakat. Perjalanan bolak balik dari dalam kampung ke bivak juga akan membutuhkan bahan bakar yang cukup banyak. Tidak terlalu mengherankan apabila masyarakat pencari karaka lebih memilih tinggal di bivak dalam jangka waktu yang lama, ketimbang harus kembali ke kampung setiap hari.
Kami tiba di bivak pertama pada waktu yang tepat. Siang itu proses pengumpulan karaka sedang berlangsung. Seorang pengumpul yang datang dari Kota Timika, Kabupaten Mimika, dengan cekatan menimbang karaka satu per satu lalu memasukkannya ke dalam basket penampung. Tangan si pengumpul seperti sudah terpasang aplikasi neraca. Hanya dengan mengangkat ia sudah bisa mengetahui berat karaka, apakah masuk ukuran ekspor atau tidak. Tanpa alat timbangan sama sekali.
Karaka dengan berat di atas 500 gram masuk dalam kategori siap ekspor, dengan syarat tambahan bukan betina petelur. Kelompok ini dihargai Rp. 40.000,- hingga Rp. 70.000,- oleh pengumpul. Sedangkan ukuran di bawah itu harganya hanya sekitar Rp. 5.000,- hingga Rp. 20.000,-. Masalahnya, karena semua karaka memiliki harga, para nelayan mengangkut semua yang didapatkan di alam. Tidak ada lagi proses tangkap pilih. Hal ini yang kemudian mengganggu regenerasi hingga menyebabkan populasi karaka mulai berkurang di beberapa lokasi, terutama di dekat kampung, seperti yang diceritakan oleh Kepala Kampung Nakai.
Soal tidak adanya proses tangkap pilih ini juga dikeluhkan oleh para pengumpul. Menurut salah seorang pengumpul, mereka tidak bisa menolak hasil tangkapan nelayan. “Padahal kami sudah bilang, jangan tangkap yang masih kecil dan yang bertelur. Itu tidak bisa dikirim (diekspor). Tapi biasa ada masyarakat yang marah kalau kami tidak beli,” katanya. “Akhirnya kami beli saja. Karaka yang tidak masuk ukuran dan betina kami jual di pasar lokal di Timika.”
Setiap hari para pencari karaka bekerja di tepi sungai hutan mangrove sejak pagi hingga sore hari. Dalam sehari satu keluarga nelayan dapat mengumpulkan sekitar sepuluh hingga dua puluh ekor karaka. Jika diuangkan, penghasilan para pencari karaka di Kampung Nakai berkisar antara Rp. 200.000,- sampai satu juta rupiah bahkan lebih per hari. Angka yang cukup besar untuk sebuah keluarga nelayan tradisional.
Sayangnya penghasilan yang cukup besar tersebut tidak dibarengi dengan kemampuan pengelolaan keuangan yang memadai. Masyarakat Kampung Nakai adalah bagian dari masyarakat adat Asmat yang baru mengenal sistem perekonomian modern. Mereka masih sangat lekat dengan kehidupan berburu dan meramu dengan pola pemanfaatan subsisten. Apa yang dihasilkan hari itu akan dikonsumsi habis hari itu juga. Sedangkan konsep menyimpan atau menabung masih asing bagi mereka. Masyarakat adat memilki konsep jaring pengaman nya sendiri lewat ikatan solidaritas antar anggota dan cadangan makanan di alam.
Lompatan sistem ekonomi ini tak pelak membuat kegagapan melanda masyarakat Kampung Nakai. Penghasilan yang besar tentu membuat daya beli meningkat. Saat mendapatkan uang, para pencari karaka di bivak-bivak langsung membelanjakan habis penghasilannya setiap harinya. Peluang ini dimanfaatkan oleh para pengumpul untuk sekaligus menjadi pedagang. Selain membawa bahan bakar untuk perahun nelayan, mereka juga membawa berbagai barang keperluan masyarakat, mulai dari bahan makanan, rokok, sampai pakaian. Jadilah para pengumpul-pedagang dari Timika ini mendapatkan keuntungan ganda, dari mengumpulkan karaka sekaligus berdagang.
Masalah yang lain kemudian muncul dari fenomena ini. Pola konsumsi masyarakat jadi bergeser, yang tadinya memanfaatkan bahan alami dari hutan kini beralih kepada makanan serba instan dari kota. Sagu berubah menjadi beras. Protein yang bersumber dari hewan buruan dan ikan-ikan sungai berganti makanan instan ber pengawet. Masih ada tambahan lainnya berupa gula dan rokok yang kurang baik bagi tubuh. Apa yang lebih ironis dari menjual bahan pangan sehat untuk membeli makanan minim nutrisi?
Celakanya kepala masyarakat sudah kadung terhegemoni oleh dominasi makanan instan ini. Tidak sedikit masyarakat Asmat kini berpendapat beras lebih bergengsi dari pada sagu. Mengkonsumsi beras berarti lebih modern dan menunjukkan taraf kesejahteraan. Sedangkan makan sagu dianggap terbelakang. Entah bagaimana anggapan ini berkembang.
Hal ini ditujukan oleh seorang pria paruh baya di bivak yang saya kunjungi tersebut. Ia mengaku senang sehari-hari bisa mengkonsumsi beras di dalam rumah tangganya. Beras bersama makanan instan lainnya bisa ia dapatkan dengan mudah. “Kami sudah lupa cara pangkur sagu. Pekerjaan itu terlalu susah,” katanya.
Intaian potensi masalah kesehatan di masa depan ini tidak disadari sepenuhnya oleh masyarakat Kampung Nakai. Yang mereka tahu sumber makanan pengganti ini dapat diperoleh dengan lebih mudah. Mereka tak perlu lagi masuk ke hutan, memangkur sagu seharian dan memasang jerat untuk mendapatkan hewan buruan. Tinggal menukar karaka dengan uang, kebutuhan harian pun dapat dibeli dengan gampang. Mereka terlupa ajaran leluhur soal memanfaatkan hutan. Memori kolektif tentang bagaimana alam menyediakan makanan dan penghidupan secara cuma-cuma sudah terkubur oleh datangnya pola kehidupan baru yang dirasa serba mudah.
Dampak paling buruk dari berubah nya pola konsumsi ini adalah masalah kekurangan gizi pada masyarakat, terutama ibu dan anak. Tentu kita masih ingat, pada awal 2018 yang lalu Kabupaten Asmat mendadak jadi sorotan nasional setelah ditetapkannya kejadian luar biasa (KLB) penyakit campak dan gizi buruk. Salah satu distrik yang terdampak paling parah waktu itu adalah Distrik Pulau Tiga yang beribu kota di Kampung Nakai.
Banyak spekulasi yang berkembang soal penyebab merebak nya penyakit campak dan gizi buruk di Asmat kala itu. Ada yang berpendapat minimnya fasilitas kesehatan dan tenaga medis di lapangan menjadi sebab. Ada pula yang mempermasalahkan letak geografis kampung-kampung di Kabupaten Asmat yang sangat terisolir. Tapi tidak banyak yang memikirkan soal perubahan pola konsumsi masyarakat dan pemanfaatan kawasan hutan yang tidak lagi arif. Padahal jika dirunut secara jernih, sejak uang (pemodal) merambah hutan, dengan perlahan berbagai permasalahan sosial baru bermunculan di Asmat. Peristiwa KLB campak dan gizi buruk tahun 2018 hanya fenomena gunung es. Di luar itu masih banyak masalah yang tidak kalah serius namun kurang tertangani dengan baik karena lepas dari sorotan.
Beberapa rekan yang bekerja di Keuskupan Agats, lembaga yang paling awal mendampingi masyarakat adat Asmat, berpendapat KLB campak dan gizi buruk merupakan sebuah bom waktu yang sudah pasti akan meledak. Dalam beberapa tahun terakhir, menurut Keuskupan Agats, fenomena pelepasan tanah adat semakin marak terjadi di Kabupaten Asmat. Hal ini menyebabkan masyarakat kehilangan hutan sebagai sumber pangan turun-temurun mereka.
Guna merespon hal tersebut, Keuskupan Agats menjalankan program pengembangan pangan di tingkat kampung. Program ini menjadi salah satu kegiatan yang paling serius digarap oleh Keuskupan Agats belakangan ini. “Kami ingin membangun kesadaran pentingnya penyediaan pangan bagi masyarakat Asmat. Dengan kekayaan sumber daya alam Asmat, harusnya mereka bisa mandiri secara ekonomi, terutama dalam hal penyediaan pangan. Bukannya bergantung pada bahan makanan dari luar,” kata Aji Sayekti, Koordinator Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agats.
Sejak tahun 2017 Keuskupan Agats juga menjadi bagian dalam gerakan pastoral transformatif yang bernama Gerakan Tungku Api. Gerakan ini lahir dari kekhawatiran gereja Katolik terhadap persoalan kemiskinan di Papua yang semakin parah. Inti kampanye gerakan ini adalah mengajak masyarakat Papua untuk tidak menjual tanah adat yang menjadi penopang utama penghidupan mereka. Saya turut menyaksikan maraknya spanduk kampanye bertuliskan “jangan jual tanah adat, jangan jual dusun!” yang menjadi slogan Gerakan Tungku Api saat berkunjung ke kampung-kampung di Mimika dan Asmat.
“Tungku api merupakan simbol kesejahteraan hidup masyarakat adat Papua. Ia juga dipandang sebagai simbol perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam yang menjamin kebutuhan dan kesejahteraan hidup masyarakat adat,” kata almarhum Mgr John Saklil, Uskup Keuskupan Timika yang merupakan penggagas Gerakan Tungku Api waktu itu.
Hilangnya fungsi hutan sebagai sumber penghidupan masyarakat adat di Asmat tidak terjadi baru-baru ini saja. Perburuan komoditas hutan yang berharga di Asmat sudah berlangsung selama puluhan tahun belakangan. Seorang rekan, Gabriel Rahanau yang bertugas di Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Agats banyak bercerita soal ini kepada saya. Menurutnya, sebelum kepiting bakau dan gelembung ikan yang saat ini banyak dicari, kayu gaharu adalah komoditas utama yang diburu di hutan Asmat. Aktivitas ini membuat banyak masyarakat kehilangan hutan kelolanya karena disewakan atau dijual kepada para pencari gaharu.
Perburuan gaharu yang marak sejak tahun 1990-an itu tidak hanya menyebabkan kerusakan hutan Asmat. Aktivitas ini juga menjadi pemicu bencana yang tidak kalah mengerikannya, yaitu penyebaran virus HIV/AIDS. Apa hubungan perburuan kayu gaharu dengan penyakit mematikan ini?
Pria yang akrab disapa Atus ini bercerita, pada masa puncak perburuan kayu gaharu, kisah gila terjadi di dalam rimba Asmat. sebagai hiburan di sela pencarian gaharu, para pekerja membangun pusat-pusat hiburan malam di lokasi-lokasi di dalam hutan. Mereka membawa genset dan sound system lantas membagun diskotik lengkap dengan lampu kerlap-kerlipnya. Rimba Asmat yang senyap seketika jadi hingar-bingar. “Hutan mendadak berubah jadi tempat disko-disko waktu itu,” ungkap Atus.
Bersama masuknya tempat hiburan malam di hutan Asmat tersebut, masyarakat adat Asmat turut terpapar minuman keras dan dunia prostitusi. Harumnya harga kayu gaharu turut membawa alkohol dan para pekerja seks komersial (PSK) sampai di dalam hutan Asmat. Keduanya menjadi penghiburan bagi para pencari gaharu yang dilanda kebosanan berada di dalam hutan selama berminggu hingga berbulan.
Atus mengutip hasil wawancaranya bersama para PSK yang bekerja di bivak-bivak saat itu. menurutnya para PSK itu tidak hanya menjual jasa mereka dengan uang. Mereka juga menerima gaharu sebagai alat tukar jasa pemuas hasrat seksual pria-pria pencari gaharu yang kesepian tersebut. Barter gaharu dengan jasa seksual ini disinyalir berlangsung hingga tahun 2000-an.
SKP Keuskupan Asmat bersama tim medis segera melakukan pendataan saat mendengar informasi munculnya masalah ini. Dalam kesempatan kunjungan ke kampung lokasi pencarian gaharu, beberapa kali mereka mendeteksi orang yang telah terjangkit virus HIV/AIDS, baik itu pihak PSK maupun para pengguna jasanya. Menurut Atus, penemuan kasus ini kemudian membuka tabir penyebaran virus mematikan ini di Asmat yang ternyata sudah mulai meluas. “Awalnya kami dapat (kasus HIV/AIDS) di Distrik Asgon. Tapi setelah melakukan pendataan lebih lanjut ternyata ada juga di distrik lain. Penyebarannya cukup cepat.”
Meluasnya kasus HIV/AIDS di Asmat saat itu dikarenakan praktik prostitusi bukan hanya terjadi di kalangan pencari gaharu saja. Aktivis ini juga menyasar masyarakat adat pemilik tanah ulayat tempat gaharu dicari. Bahkan tidak jarang jasa PSK dijadikan bagian dari alat tukar jual lahan. Sejumlah uang dan gratifikasi seksual membuat sebagian masyarakat adat, termasuk para tetua adat, menjadi tergoda kemudian melepas hutan yang menjadi wilayah kelola mereka.
Aktivitas seksual tidak aman yang marak terjadi saat itu kemudian menyebarkan virus HIV/AIDS lebih jauh kepada masyarakat adat Asmat. Para pemilik ulayat dan tetua adat yang telah melakukan hubungan seksual dengan para penjaja seks kemudian menjadi pembawa virus. Mereka meneruskan bibit penyakit ini ke dalam rumah tangga, menjangkiti istri kemudian keturunan selanjutnya.
Hingga saat ini Kabupaten Asmat merupakan daerah dengan jumlah kasus HIV/AIDS yang cukup tinggi di Papua. Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Papua, pada tahun 2020 terdapat 43.219 kasus HIV/AIDS di Papua. Di Kabupaten Asmat sendiri lebih dari dua ratus orang dilaporkan hidup dengan virus yang menyerang sistem imun ini. Itu belum termasuk kasus yang belum sempat terdata akibat sulitnya akses untuk menjangkau kampung-kampung di Asmat.
Riwayat yang cukup panjang menunjukkan perubahan pola peruntukan hutan di Kabupaten Asmat telah membawa berbagai permasalahan sosial bagi masyarakat. Masalah ini kemudian berdampak ganda bagi masyarakat adat. Mereka kehilangan hutan sebagai sumber penghidupan sekaligus menghadapi permasalahan sosial baru yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Sayangnya solusi atas permasalahan yang hadir cenderung selalu reaktif dan tidak menyentuh akar permasalahan. Hutan terus saja dieksploitasi demi akumulasi keuntungan ekonomi. Kita tak kunjung sadar ada begitu banyak masalah yang harus kita bayar di kemudian hari.
Mau sampai kapan kita melihat uang bekerja merusak ruang hidup kita?
Penulis : Wahyudin Opu/ Blue forests