UPDATEBERITA.ID–Merauke, Kisah pilu melanda masyarakat adat Malind, dimana banyak sekali transaksi marga yang mengakibatkan adanya pernyataan saya anak adat Malind, untuk kepentingan pribadi semata dari mereka yang bukan asli Malind. Hal ini membuat tokoh adat Malind Isayas Ndiken angkat bicara. Menurutnya, pengangkatan anak adat Malind sudah diatur dalam tata cara budaya adat Malind sejak dahulu. Dimana ada ritus-ritus dan ritual adat yang harus dilewati oleh seorang anak Malind untuk bisa diakui sebagai anak adat Malind.
“Kami di Malind memiliki adat dan ritual sakral yang harus dilewati oleh seorang anak Malind, agar layak di sebut sebagai anak adat Malind. Jadi bukan hanya dengan memberikan marga, langsung dikatakan sebagai anak adat malind,” kata Isayas Ndiken saat diwawancarai di kediamannya (05/10).
Jadi perlu diketahui bahwa untuk menjadi anak adat Malind seseorang harus menjadi bagian dari orang Malind, yaitu mereka yang memiliki marga Malind sebagai identitasnya. Setelah memiiki identitasnya maka proses awal yang akan dilakukan yaitu MBULALO. Ini merupakan proses pertama menuju KAGAHIB, dari situ seorang calon anak adat akan menuju ke tingkatan berikutnya yang di sebut dengan MITAWAL. Dari proses ini akan dilanjuti lagi menuju ke PAKAS ANEM. Dan setelah itu ritual yang terakhir dari proses menuju anak adat adalah KUNAM. Dimana ditingkatan KUNAM ini seseorang memiliki hak penuh sebagai anak adat Malind.
“Jadi saya mau katakan bahwa sebutan anak adat dalam tatanan suku Malind, itu tidak sembarang. Jadi saudara-saudara yang datang dari luar dan diberikan marga oleh orang Malind jangan seenaknya menyebutkan dirinya sebagai anak adat Malind. Kalau tidak melalui proses yang ada dalam tatanan adat Malind, perlu diingat itu!!!” tegas Isayas.
Dalam pengangkatan anak untuk menjadi bagian dalam marga di suku Malind. Ada aturan yang berlaku, biasanya disebut GHRANA dimana anak yang masih berumur 0 sampai 6 tahun diadobsi oleh keluarga asli Malind dan diberikan marga kepada anak itu, sesuai dengan marga orang tua angkatnya. Ada juga MAKO/ KISIH dimana anak ini memiliki ibu tetapi ayahnya telah meninggal dan ibunya menikah lagi dengan orang lain sehingga anaknya memakai marga dari ayah sambungnya.
Tetapi yang terjadi sekarang ini, banyak anak IKAHEH. Dimana hanya karna faktor-faktor tertentu mereka diangkat sebagai anak Malind. Tetapi pada kenyataannya mereka tidak bisa mempertanggungjawabkan apa yang mereka pikul sebagai identitas orang Malind. Pada akhirnya pengakuan mereka sebagai bagian dari orang Malind hanya karena adanya kepentingan pribadi semata.
“Saya perlu tegaskan, bahwa untuk menjadi anak Malind yang diangkat dari luar orang Malind memiliki proses dan ritual yang sakral, apalagi orang yang diangkat ini sudah dewasa. Maka ada tanggung jawab untuk mengenal marga yang dia pikul sebagai identitas barunya. Disamping itu juga, ia harus dan wajib menguasai bahasa ibu (bahasa Malind) sebagai bahasa adat. Karena disitulah terkandung nilai-nilai adat orang malind yang harus dia ketahui, agar bisa berperilaku dan bertutur sesuai dengan budaya adat orang Malind,”jelas Isayas. UB.202